Saya baru saja meninggalkan kawasan pedesaan yang dipenuhi kebun-kebun anggur yang indah di Tuscany, Italia. Kawasan seperti ini tiba-tiba menjadi lapangan kerja baru, menyusul upaya Uni Eropa untuk kembali ke desa. Menyeberang ke Porto, guide saya, calon dokter dari Lisbon bercerita tentang mundurnya perekonomian dan lapangan pekerjaan di Portugal. Sambil menarik nafas dalam, ia menyampaikan, kekasihnya harus pindah ke Brazil untuk mendapatkan pekerjaan. “Di Portugal..” ujarnya. “Lebih dari 40 persen kaum muda sudah pindah untuk bekerja ke luar negeri,” tambahnya. Itu sebabnya, Uni Eropa sudah berkomitmen menyalurkan 100 miliar Euro dana desa selama 6 tahun (2014-2020) untuk membangun pertanian dan ekologi, Kembali ke Desa Tetapi Indonesia lebih serius. Memang bukan karena ancaman disrupsi, tapi hampir pasti disruption akan memasuki tahap transisi sehingga ada banyak pekerjaan di kota yang hilang. Bila EU hanya fokus pada 118 titik, Indonesia membidik 77.000 desa. Tetapi eforia terhadap kota memang tak dapat dihindari. Sebanyak tiga perempat penduduk Asia diketahui akan berpindah ke kota. Dan sebanyak 8 dari 10 kota yang berpenduduk diatas 23 juta orang berada di Asia.
Dua teratasnya adalah Tokyo dan Jakarta. China memiliki lima belas dari total 46 megacity di dunia sedangkan Amerika Serikat hanya 2, yaitu New York dan Los Angeles. Tetapi kini dunia sepertinya tengah disadarkan untuk kembali ke desa, sebab hanya di sanalah ada pangan dan udara segar. Dan Indonesia, dengan dana desa dan BUMDES-nya berada di garis depan. Tidak mengherankan bila saat ini sejumlah negara sudah disarankan badan-badan dunia melakukan studi banding ke sini. Walaupun kita sendiri masih merasa banyak yang belum. Masih banyak jalan di desa yang belum terhubung meski sudah 121.000 kilometer yang dibangun. Lalu 82.000 lebih MCK dan 5.000 tambatan perahu.
Indonesia konsisten membangun desa dan membawa kaum muda yang masih produktif untuk berkarya di desa.
Berkarya apa? Bisnis online yang kini jadi andalan kaum muda perkotaan itu tentu ada batasnya. Ketika internet memotret gaya hidup baru dan mendekatkan manusia, maka ribuan produk konsumsi yang kita kenal pun akan menjadi barang inferior.
Artinya, peningkatan pendapatan justru bisa membuat permintaan produk-produk tertentu menjadi barang inferior dan turun. Artinya terjadi shifting besar-besaran yang berakibat banyak pekerjaan hilang. Tak pernah terbayangkan cokelat buatan Mayora bisa menjadi inferior goods karena konsumen yang pendapatannya naik malah memilih menabung lebih banyak supaya bisa berkunjung ke Umbul Ponggok di Klaten, menjalankan ibadah umroh atau melihat tembok raksaksa di Tiongkok. Bisa dibayangkan bila pekerjaan-pekerjaan yang biasa “menarik” kaum muda itu terdisrupsi. Beruntung di sini, semenjak Undang-Undang Desa disahkan pada (2014), pemerintah Indonesia menggenjot pembangunan di desa. Lihat saja, dana desa yang didistribusikan sejak 2015 sudah mencapai sekitar Rp 120 triliun. Memang sampai tahun lalu dana desa itu sulit dipakai untuk pengentasan kemiskinan karena ada ketentuan pengadaan yang melaras swakelola.
Tetapi, saya senang bahwa Presiden dan menterinya bekerja cepat. Melalui SKB 4 menteri, 30 persen dari dana desa itu kini bisa dipakai untuk program padat karya tunai. Jadi kini tak perlu lagi menggunakan kontraktor dari luar desa. Artinya dana dipakai oleh orang desa dengan tenaga masyarakat desa. Artinya perputaran uang akan lebih banyak lagi terjadi di desa.
Peran Offtaker
Beberapa waktu yang lalu saya diundang Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi juga untuk melihat desa-desa di Sumba Timur. Dari bandara Halim Perdana Kusuma, saya ditemui oleh CEO PT Muria Sumber Manis, Iwan Suhardjo yang menjadi lokomotifnya Kebetulan Sdr. Iwan pernah menjadi mahasiswa saya. “Dari akuntansi ke marketing lalu ke pertanian” ujarnya. Iwan bukanlah orang pertama yang saya temui dan bisa belajar hal-hal baru. Makanya para pendidik perlu melakukan shifting, dari mengajar “what to learn” menjadi “how to learn”. Dan itulah yang dari dulu saya lakukan. “Saya belajar kembali dari nol, dan kami berkesimpulan tanah-tanah tandus di Sumba Timur bisa kembali disuburkan.” Iwan mengakui belajar dari Google dan Youtube. Ia mengajukan pertanyaan kritis: “Bagaimana mungkin Israel yang tanahnya tandus bisa menghasilkan jeruk dan anggur yang manis-manis?” Setelah melihat topografi dan curah hujan, dipilihlah desa Wanga di Sumba Timur. Mulanya mereka membuat 18 buah embung sedalam 6 meter ke bawah dengan sistem membran untuk menampung sekitar 200.000 meter kubik air hujan. Gayung pun bersambut. Menteri Desa mempercepat kemajuan desa dan mengentaskan desa tertinggal dengan melibatkan CEO perusahan-perusahaan besar. Bulan lalu, sekitar 200 orang CEO menandatangani kesepakatan dengan 102 Bupati di Jakarta. Tiba-tiba saja banyak CEO terhentak. Jambu klutuk yang diimpor dari India untuk bahan baku jus seperti Buavita, ternyata ada di desa Sukorejo Kabupaten Kendal (791 hektar). Jadi buat apa harus impor? Di Sumba Timur, Menteri Desa membagikan tanah negara seluas 10.000 hektar kepada rakyat untuk menanam tebu dengan teknologi yang saya sebutkan tadi. Masing-masing petani mendapat 3 hektar. Dengan model ini, kalau tak ada aral melintang, setiap kepala keluarga bisa mendapatkan penghasilan baru sebesar Rp 85 juta. Dengan modal sosial masyarakat yang bagus, PT Muria Sumba Manis (Kelompok usaha Djarum), minggu lalu melakukan peletakkan pertama bangunan pabrik gula dengan kapasitas 12.000 tcd (ton of cane per day). Artinya, Indonesia bisa segera nengurangi impor gula (saat ini 4 juta ton). Diperkirakan akan ada 3.000-4.000 orang bekerja di pabrik, ribuan lainnya akan menjadi petani plasma. Bisa saya bayangkan bagaimana perputaran uang di desa Wanga dan desa-desa sekitarnya di Kabupaten Sumba Timur menyusul terbentuknya infrastruktur perdesaan yang jauh lebih baik. Apa yang saya ceritakan ini sesungguhnya masih baru pada tahap awal dari ribuan inisiatif pembangunan desa yang mulai berbuah lainnya. Bersiap-siaplah kembali ke desa.
Sumber: kompas (dot) com
0 Komentar